Rabu, 14 September 2016

BESTPROFIT - Diplomasi ala warteg di luar negeri


PT BESTPROFIT FUTURES BANJARMASIN
Bangunan penuh kaca Berlin Hauptbahnhof, stasiun kereta terbesar di Ibu Kota Jerman, berdiri megah di kawasan Europaplatz. Namun jika anda pelancong asal Indonesia, jangan sekadar menikmati suasana stasiun yang sangat futuristik itu.
Apalagi jika anda sedang tak berselera menikmati panganan lokal, luangkan waktu naik bus TXL dari stasiun menuju kawasan Turn Str 18, 10559, Berlin. Persis di sisi kiri jalan raya, anda bisa menyaksikan sebuah plang Nusantara Halal Restaurant. Pemiliknya adalah Bram Fernandin, pria 48 tahun mantan atlet bulu tangkis asal Indonesia.
Atlet seangkatan Alan Budikusuma ini bangga menjuluki tempat makannya sebagai warung tegal. "Saya kan asli Tegal, jadi ini warteg juga," ujarnya.
Para pengunjung, baik WNI sedang mukim di Jerman maupun warga lokal, menyatakan rasa warung ini sangat otentik. Kendati begitu, menu yang disajikan tidak terbatas pada masakan khas Jawa seperti lazimnya warteg di Tanah Air.
Tentu ada oreg tempe hingga nasi rames laiknya warteg. Namun pengunjung bisa pula menikmati rendang, bakso, hingga tongseng. Rata-rata menu dibanderol 5,9 Euro (setara Rp 88 ribu). Untuk makan lengkap lebih dari tiga jenis lauk, per orang bisa saja merogoh kocek hingga 18 Euro. Namun harga ini masih pantas untuk mereka yang kangen dengan citarasa Tanah Air.
"Kangen masakan Indonesia atau Warteg selama di Berlin, Nusantara jawabannya, tulis akun Appra86 di situs tripadvisor.

Khazanah kuliner Indonesia tidak bisa mengabaikan satu jaringan bisnis penting: warung tegal, biasa disebut warteg. Tempat makan ini memiliki sekian ciri khas: penyajian lauk pauk di lemari kaca, harga terjangkau, serta tentu saja penjualnya yang memang kebanyakan asal Tegal, Jawa Tengah.
Warteg adalah tempat makan andalan pekerja kerah biru di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Selain menyoal harga, banyak orang yang rindu masakan rumahan khas lidah Jawa seperti orek tempe, sayur kangkung, hingga pindang goreng pasti akan memilih warteg saat perut lapar.
Di Ibu Kota, data lima tahun lalu memperkirakan 34.725 warteg beroperasi. Angka ini bisa saja naik atau turun, mengingat rata-rata lokasi warung mengontrak di pemukiman padat atau kawasan belakang perkantoran.
Kini warteg telah menembus pasar mancanegara. Menandakan ada peluang bisnis kuliner ini melebarkan sayap menyaingi kuliner Asia lainnya yang lebih dulu unjuk gigi di negara-negara Barat.
Selain di Berlin, warteg serupa dapat ditemukan di Ibu Kota Amsterdam, Belanda. Sebuah tempat makan, bernama Warung Adji, lokasinya di Johan Huizingalaan 264, akan menuntaskan kerinduan anda pada masakan Indonesia ala warteg.
BBC Indonesia pernah menyajikan liputan mendalam tentang warung makan khas nusantara ini, milik WNI bernama Budi Santoso. "Makanan Indonesia di sini jauh lebih otentik. Beda dengan makanan Cina yang sudah dibuat dengan cita rasa Belanda," kata Jost Drenthe, pria 55 tahun yang pernah tinggal di Pontianak, Indonesia, semasa kecilnya.
Di Kota Den Haag, anda juga bisa menemukan 'warteg' lainnya. Yang ini memasang nama 'Isakuiki' sebuah idiom Bahasa Jawa yang artinya "inilah keahlianku."
Isakuiki digawangi oleh Maria Utomo, wanita asal Indonesia yang sudah pindah ke Belanda sejak 1993 mengikuti suaminya. Seperti restoran Indonesia lain, menu-menu ala warteg dipertahankan, sembari menyajikan panganan khas nusantara lainnya.

Restoran Nusantara di Berlin (c)restaurant-nusantara.de
Berdasarkan data KBRI Den Haag, di seluruh Belanda terdapat sekitar 2.000 tempat makan Indonesia. Mulai dari restoran mewah, hingga warung sederhana. Omzetnya bisa mencpai 28 ribu Euro per bulan (setara Rp 450 juta). Ceruk pasar masakan ala warteg cukup besar. Selain bagi penikmat nostalgia, mereka dapat melayani kebutuhan konsumen yang mencari panganan halal di negara-negara Barat. Selama ini, ceruk itu dikuasai restoran khas Timur Tengah.
Tapi jangan salah, usaha para diaspora Indonesia memperkenalkan kuliner nusantara ini butuh modal besar. Di Belanda saja, ambil contoh, aturan usaha kuliner tergolong sangat ketat.
Albert Wiliam (51), pemilik warung "Wijaya Kusuma" di Kota Eindhoven, Belanda bercerita bahwa dokumen sebelum membuka restoran di Belanda cukup banyak. "Bisa setumpuk segini," katanya sambil mengangkat tangan setinggi 25 centimeter seperti dilansir Antara.
Tim dari Dinas Kesehatan setempat selalu berkeliling melakukan pengecekan. Jika ada sajian yang diukur dengan termometer berada di kisaran tujuh sampai 60 derajat celsius maka bisa kena denda ribuan Euro. Kebersihan dapur dan ruang makan juga akan diawasi oleh utusan dinas itu.
Peluang 'diplomasi warteg' untuk memperkenalkan masakan Indonesia di luar negeri masih sangat besar. Albert berharap pemerintah RI bisa membantu pasokan bahan baku agar lebih mudah didapat pengusaha restoran sepertinya. Selama ini bahan baku seperti saus, kecap, rebung, dan sayuran justru dipasok dari Thailand atau negara Asia lain.
"Kita juga sedih karena kita tahu, Indonesia sebenarnya bisa memasok bahan baku itu. Kalau tata niaganya efisien, petani Indonesia pasti lebih sejahtera," katanya. - merdeka.com

(Mr - Pt Bestprofit Futures)

0 komentar:

Posting Komentar